Masa-Masa kampanye partai politik saat ini sangat rawan
dengan perpecahan. Sehingga di lapangan sering terjadi percikan konflik antar
masa pendukung. Pertarungan ideology yang terjadi di tataran elite pemimpin
partai sudah digelar. Berbagai cara dilakukan baik dengana cara yang santun
maupun saling saling menjatuhkan dan serangan kampanye hitam. Semua dilakukan
untuk mencari dukungan sehingga tampil sebagai pemenang. Tak jarang seorang
sahabat menjadi retak hubungannya karena perbedaan “warna bendera”. Perpecahan
jelang Pemilu 2014 semoga hanya momentum sesaat dan seluruh lapisan masyarakat
mendukung pemimpin yang terpilih secara demokrasi.
Reformasi sejak tahun 1998 bangsa kita mengalami cobaan
dan ujian bertubi-tubi, krisis moneter
dan ancaman disintegrasi bangsa sampai saat ini belum dapat diselesaikan dengan
tuntas. Hal ini menimbulkan rasa
frustasi dan ketidak percayaan rakyat kepada pemerintah, muncullah aneka ragam
bentuk protes baik melalui demontrasi yang anarkis dan membuat parlemen
tandingan.
Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan bangsa
Indonesia tersebut menggambarkan bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
dasar Negara, jiwa kepribadian bangsa menunjukkan adanya kecenderungan tidak
lagi dijadikan pedoman hidup dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
kecenderungan tersebut diantaranya
tindakan sadis dan anarkis mewarnai berita-berita media massa baik
elektronik maupun cetak, bagaimana seorang ibu membunuh anak kandungnya,
seorang ayah memperkosa anak perempuannya, pembantaian, begitu juga kelompok
masyarakat bertindak anarkis dalam menyampaikan pendapat, sarana umum hancur,
lalu lintas macet, kendaraan dinas maupun pribadi dibakar, para pelakunya bebas
tidak dapat hukuman
Permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia dewasa ini,
dengan berbagai kejadian-kejadian yang terjadi di sebagian daerah Indonesia
sangatlah bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar ’45 yang
dijadikan pedoman hidup oleh masyarakat, berbangsa dan bernegara mengingat
Pancasila merupakan azas mutlak bagi rakyat Indonesia dalam menjalankan
kehidupannya sehari-hari.
Dengan melihat perkembangan kehidupan berbangsa dan bertanah
air di Negara kita yang sering terjadi konflik maka menjadi suatu tantangan
buat kita untuk bisa menjawab bagaimana penanganan atau pemecahan masalah
konflik tersebut dan dalam penangan konflik tersebut berpedoman kepada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta langkah-langkah apa yang harus
dilaksanakan.
Kita ketahui bersama bahwa Negara Indonesia terdiri dari
berbagai ragam suku, bahasa, agama, adat istiadat dan banyak lagi, hal itu akan
bisa berdampak pada konflik apabila kita tidak memiliki jiwa kesatuan dan
pesatuan. Untuk itu didalam menumbuhkan nilai persatuan dan kesatuan maka salah
satu langkah pemecahan adalah perlu dihidupkan kembali penataran Pedoman
Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) kepada setiap lapisan masyarakat, karena
dengan penataran tersebut secara tidak langsung masyarakat akan memahami
tentang dasar falsafah kita dan bagaimana pengaplikasiannya sehingga akan
mengurangi konflik-konflik yang terjadi di Negara kita.
Pertahanan
Wilayah, Konflik Antar Suku di Wilayah Perbatasan
Situasi di Kota Tarakan, Kalimantan Timur, kembali mencekam
menyusul pecahnya bentrokan antarwarga di simpang empat Grand Tarakan Mall,
Selasa (28/9) malam. Satu orang dilaporkan tewas dan dua lainnya mengalami luka
parah. Belum diketahui persis apakah kasus ini terkait kerusuhan sehari
sebelumnya. Saat dikonfirmasi dari Kota Samarinda semalam, Direktur Intelkam
Kepolisian Daerah Kaltim Komisaris Besar Rudi Pranoto hanya membenarkan adanya
bentrokan itu. ”Ya, ya, ya, kami masih berusaha mengatasi situasi ini,” katanya
singkat.
Korban tewas belum diketahui identitasnya. Korban luka
dikabarkan bernama Yudi dan Kalun. Sejumlah warga dan wartawan Tribun Kaltim
yang dihubungi per telepon mengatakan, dua kelompok massa itu tiba-tiba
berhadapan di simpang empat Grand Tarakan Mall dan bentrok pukul 21.30 Wita.
Semua aktivitas usaha langsung terhenti. Sebelumnya, sore hari, satu rumah di
kawasan Juata Kerikil dibakar sekelompok orang yang belum diketahui
identitasnya.
Sebagaimana diberitakan, Senin lalu terjadi bentrokan dan
kerusuhan di kota tersebut. Bentrokan melibatkan warga setempat dan warga
pendatang. Bentrokan dipicu kematian seorang tokoh adat yang juga imam masjid
bernama Abdullah (45), Minggu malam. Abdullah meninggal dunia akibat mengalami
banyak luka tusukan setelah berupaya melerai perkelahian yang melibatkan
anaknya
speed patroli perbatasan
Menurut Kepala Bidang Humas Polda Kaltim Komisaris Besar
Antonius Wisnu Sutirta, penangkapan ketiga tersangka berdasarkan informasi dari
sembilan saksi yang ditahan. ”Polisi masih mengejar sejumlah tersangka lain
yang diduga terlibat pengeroyokan di kawasan Perumahan Juwata Permai yang juga
menyebabkan Rahmat (25), putra Abdullah, terluka,” ujar Wisnu Sutirta.( Kompas 29/11/2010).
Dari sisi pemberitaan dan laporan media masa apa yang mereka
tuliskan sudah mewakili 4(siabidiba, atau siapa,bilamana,dimana dan bagaimana)
tetapi belum bisa masuk ke ranah 1(me,) mengapanya. Nah tentang mengapa inilah
selama ini yang sebenarnya sering menjadi “pemicu” konflik ke arah yang lebih
besar lagi. Dalam ranah ini sudah ada dua institusi intelijen dari Kepolisian
dan Pertahanan atau Komando Wilayah (pengumpul keterangan plus analisanya) yang
sebenarnya sudah sejak awal memetakan
semua bentuk sumber-sumber ancaman dan khususnya yang bakal muncul di
wilayahnya terlebih lagi kalau itu wilayah perbatasan.
Mereka tahu persis siapa saja tokohnya, apa yang jadi
penggerak dan kemana tujuannya, dimana kelemahan dan kekuatannya. Pimpinan
kepolisian dan Kodim setempat “tahu”
persis “mereka”, artinya semua kelompok yang ada di wilayah kerjanya. Dari
awal, dapat dipastikan kedua lembaga ini tahu persis apa dan bagaimana “ramalan
pelibatan” yang bakal terjadi di wilayahnya. Kalau ini tidak “terbaca” maka
dapat dipastikan kedua lembaga tersebut tidak melakukan tugasnya dengan baik
dan benar.
Sejatinya setiap kelembagaan dalam operasionalnya selalu
mencari keunggulan atas lembaga lainnya, hal yang wajar, tetapi yang sering terjadi
adalah kalau lembaga-lembaga itu bekerja sendiri-sendiri, tidak ada koordinasi
(sangat minim) dan tidak saling tukar informasi dan kalau hal ini dikembalikan
kepada struktur lama penegakan hukum di Negara kita ( khususnya peran
kepolisian daerah dan aparat territorial pada masa lalu); memang ada
“disharmoni” di sana. Sekarang semua sudah berubah, polisi jadi penjuru dan
lainnya jadi pendukung. Mampukah polisi mengelola wilayahnya? Yang utama
sesungguhnya dapatkah Polisi menempatkan institusinya sebagai penjuru? Dan
berusaha agar mereka tidak terjebak hanya pada lakon sebagai pemadam kebakaran
semata? Kita yakin, polisi pasti bisa.
Kerusuhan Tarakan
Kalau kita membaca peristiwa yang dilaporkan media, bahkan
media sekelas Kompaspun, kita harus akui bahwa kedalamannya tidak bisa terlalu
di andalkan; meski kita percaya mereka juga mempunyai berbagai informasi dan
selalu di kroscek di lapangan tetapi tetaplah terdapat banyak kendala; seperti
kerusuhan Tarakan barulah seminggu kemudian berbagai informasi di “buka”
seperti penjelasan Kapolda Kaltim (Kompas 12/10/2010) sekitar 1.000 polisi
masih disiagakan di Kota Tarakan, Kalimantan Timur, terkait konflik yang
melibatkan warga setempat dan warga pendatang pada 26-30 September lalu, seusai
Silaturahim Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Kalimantan Timur di Kota
Samarinda, Senin (11/10).
Ia mengakui, sulit menjelaskan indikator pemahaman warga. Di
satu sisi, Tarakan sebenarnya dinilai sudah aman. Namun, di sisi lain, warga
yang ditemui Mathius Salempang—selama dia berada di Tarakan—menyatakan masih
menginginkan kehadiran polisi. Menurut Mathius Salempang, Tarakan sudah aman
karena kedua kelompok warga yang bertikai telah berdamai. Tidak ada lagi
konsentrasi massa yang membawa senjata, seperti saat konflik berlangsung. Andai
saja pihak kepolisian sejak awal mengenal Simptomnya secara tepat, maka pusat
kerusuhan sudah bisa dilokalisir dari awal, malah bisa di lumpuhkan saat akan
meledak. Kedepan kita berharap penegak hukum dan jajaran kerjanya mampu bekerja
dengan baik dan menutup jalan bagi
munculnya konflik-konfil baru.
Tarakan Dalam Persepsi
Pulau Tarakan di Kalimantan Timur bagian utara sejak lama
menjadi magnet dan dipercaya mereka dapat untuk meningkatkan kesejahteraan.
Mereka datang dari seluruh penjuru negeri, mulai dari Jawa, Sulawesi, Madura
serta berbagai campurannya. Mereka datang untuk satu hal, demi kehidupan yang
lebih baik. Mereka mau melakukan upaya maksimal dan bekerja ekstra keras demi
mendapatkan kehidupan yang lebih baik itu. Sementara suku asli yang sudah lama
di daerah itu; juga melakukan berbagai upaya yang sama, dan semua upaya itu
tentu mengalami priksi, benturan dan konflik. Itulah Tarakan.
Ada baiknya anda baca cuplikan tulisan Ambrosius Harto
Manumoyoso dan Defri Werdiono ( Kompas 4/10/2010); Tarakan adalah kota pulau
dengan luas daratan 25.000 hektar. Luas perairannya 40.000 hektar. Biarpun
kecil, Tarakan kini menjadi tempat hidup hampir 180.000 jiwa dari pelbagai suku
bangsa di Indonesia. Daya pikat Tarakan yang berstatus kota bahkan sudah terkandung
dalam asal-usul namanya. Tarakan berasal dari kosakata bahasa Tidung, tarak,
yang artinya bertemu, dan ngakan yang berarti makan. Tarakan diartikan tempat
para nelayan istirahat untuk makan, bertemu, dan bertukar hasil tangkapan.
Tarakan dulu didiami suku Tidung yang pelaut, petani, dan
peladang. Mereka mendirikan Kerajaan Tarakan yang dalam perkembangan berada
dalam kekuasaan Kesultanan Bulungan di daratan Pulau Kalimantan. Kehidupan
masyarakat terusik dengan kedatangan Bataavishe Petroleum (BP) Maatchapij,
perusahaan perminyakan Belanda, pada 1896. Perusahaan BP ini juga merajalela
dalam berbagai eksplorasi minyak di sejumlah kawasan dan kawasan perbatasan di
Indonesia. Bangsa dari Eropa Barat itu mendatangkan banyak pekerja dari Jawa
untuk menggiatkan pengeboran.
Menurut situs Pemerintah Kota Tarakan, cadangan minyak 451
juta barrel. Produksi harian 2.100 barrel. Dengan produksi tetap, minyak baru
habis 588 tahun lagi. Cadangan gas 119 miliar kaki kubik. Produksi harian cuma
24 kaki kubik. Lebih dari satu milenium gas baru habis. Penjajahan Belanda
diakhiri gempuran Jepang yang juga berambisi menguasai minyak bumi Paguntaka
pada 1942. Namun, Jepang cuma bertahan hingga 1945 setelah digempur habis
sekutu (Australia, Amerika Serikat, Belanda) dalam Perang Dunia II. Kini masih
berdiri tegak sisa-sisa saksi bisu perang raya itu, yaitu pompa-pompa angguk,
bungker-bungker, dan meriam-meriam pantai.
Perairan Tarakan ternyata juga kaya. Rata-rata hasil
tangkapan ikan laut 3.500 ton dari potensi 5.000 ton setahun. Produksi ikan
kering 607 ton setahun. Ekspor kepiting 500 ton setahun. Masih lagi ada batu
bara dan bahan galian. Puluhan pabrik kayu, pengolahan ikan dan udang, kilang
minyak, bahkan potensi pariwisata. Hubungan bisnis internasional amat
berpotensi karena Tarakan cuma empat jam berperahu cepat ke Kota Tawau di
Negara Bagian Sabah, Malaysia Timur (Pulau Kalimantan).
Jadi, jangan heran saat berada di Tarakan: banyak orang
bicara bahasa Jawa, Banjar, Bugis, dan Tidung simpang siur. Produksi Indonesia
bersanding dengan buatan Malaysia di pasar dan toko, mulai dari makanan, obat,
buah, pakaian, sepatu, bahkan gas 20 kilogram. Jangan heran kios atau toko-toko
punya simpanan ringgit Malaysia untuk transaksi dan menukar uang. Setiap akhir
pekan, puluhan warga Sabah berwisata ke Tarakan. Sebaliknya, orang Tarakan
berduyun-duyun berwisata ke Sabah.
Mantan Wali Kota Tarakan Jusuf Serang Kasim mengatakan,
kehidupan di tempat kelahirannya ini begitu penuh warna dan potensi. Itulah
alasannya sepuluh tahun menjabat wali kota dipakainya untuk membangun dan
menjadikan Tarakan sebagai Singapura kecil.
Semua sektor dirangsang, terutama pendidikan dan pembenahan
infrastruktur. Ruang hijau dan tempat wisata publik dipertahankan, bahkan
dipercantik, seperti Kawasan Konservasi Mangrove Bekantan, Pantai Amal, dan
taman-taman kota. ”Agar maju, Tarakan harus nyaman bagi semua orang,” kata
Jusuf. Namun, Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda,
Profesor Sarosa Hamongpranoto, punya pandangan berbeda. Tarakan juga punya
kelemahan. Kue perekonomian yang tidak merata dirasakan atau didominasi suatu
etnis akan menimbulkan kesenjangan hidup dan kecemburuan sosial. Itu kondisi
rawan.
Secara geografis, Pulau Tarakan adalah pulau kecil, tetapi
berpenduduk padat. Ini kondisi yang peka. Sekecil apa pun peristiwa akan cepat
tersebar dan memengaruhi penduduknya. Konflik antarkelompok etnis yang meletus
27 September lalu, misalnya, telah menewaskan 5 orang dan memaksa 40.000-an
penduduk mengungsi. Kita bersyukur keadaan segera diatasi bersama-sama dan
semua warga bangkit membangun semangat kebangsaan dan harapan akan masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar