Pages

Terimakasih Sudah Berkunjung | Azwarbloop Blog's , Selamat Membaca Dan Menikmati | Blogger Yg Baik Silahkan meninggalkan pesan

Minggu, 08 Juni 2014

Kerukunan Umat beragama Di indonesia





Kerukunan umat beragama

indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang cukup besar dan memiliki berbagai ragam aliran kepercayaan dan keyakinan agama. Munculnya berbagai aliran kepercayaan dan keyakinan agama ini di satu sisi merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa dan di sisi yang lain merupakan potensi munculnya disharmoni bahkan konflik di kalangan penganut aliran ajaran agama. Potensi munculnya disharmoni ini harus diantisipasi agar kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara dapat berjalan dengan baik dalam mengisi pembangunan nasional.


Pada awalnya kerukunan hidup antar maupun intern-umat beragama secara umum relatif baik dan mencerminkan kehidupan umat beragama yang guyub rukun. Bangsa Indonesia sering dijadikan barometer bagi bangsa-bangsa lain di dunia tentang kemajemukan beragama yang toleran dan hidup dalam perdamaian. Secara umum watak keberagamaan cenderung moderat, sehingga hubungan antar pemeluk agama lebih lentur dan mencair. Kebudayaan masyarakat yang bercorak majemuk atau Bhineka Tunggal Ika  menjadi fondasi sosial dalam kerukunan dan kedamaian.

Dalam perkembangannya, sering terjadi ketegangan hubungan antar pemeluk agama hingga konflik fisik di berbagai wilayah Indonesia bahkan tidak jarang berbuntut pada penghilangan nyawa. Pada masa Orde Baru sering terjadi letupan-letupan konflik intern dan antar umat beragama. Peran negara atau pemerintah dalam mengatur relasi kehidupan intern dan antar umat beragama sangat dominan. Melalui kebijakan pemerintah pada waktu itu berbagai peristiwa SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) mudah diredam, dikendalikan, dan diselesaikan secara top-down.

Di era Reformasi sekarang ini, peran dominasi pemerintah berkurang dan proses keterbukaan demikian kuat. Konflik-konflik terbuka yang melibatkan umat beragama banyak muncul. Peristiwa yang paling tragis ialah konflik yang terjadi di Poso, Ambon, Sambas, Sampit dan titik-titik konflik lain di sejumlah daerah.
Peristiwa yang terjadi tersebut tidaklah murni konflik keagamaan, tetapi tidak menutup kemungkinan juga ada beberapa faktor penyebab lain. Meskipun demikian, berbagai konflik tersebut harus berhenti di sini dan jangan sampai terulang kembali dan merembet ke daerah-daerah lain. Jika sampai berulang dan menjalar maka kerugian dan kehancuran yang akan menimpa bangsa ini. Kehidupan umat beragama di Indonesia dan nilai luhur agama tentu tercoreng. Karena itu, seluruh pihak termasuk pemerintah, kekuatan-kekuatan politik, dan lebih khusus semua kelompok atau golongan agama harus mengambil hikmah sekaligus langkah-langkah tegas.

Disinilah pentingnya kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah yang komprehensif untuk mendorong semakin kuatnya budaya kerukunan dan perdamaian, sekaligus meminimalisir berbagai faktor pemicu konflik. Pemerintah memang tidak bisa terlalu jauh masuk dan mengendalikan totalitas terhadap hubungan antar atau intern umat beragama, tetapi juga tidak boleh melakukan pembiaran dan acuh tak acuh. Seluruh golongan masyarakat, lebih khusus umat serta tokoh beragama, harus terus mengambil prakarsa agar terjadi relasi umat beragama yang semakin dewasa, rukun, dan damai. Kalaupun sesekali terjadi konflik, tidak berskala besar dan meluas, serta mampu diredam dan dipecahkan dengan resolusi konflik yang cepat dan elegan.
Agar tindakan yang diambil oleh pemerintah dan stakeholders dalam penguatan kerukunan umat beragama di Indonesia dapat berjalan sesuai dengan tata nilai norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia maka perlu adanya regulasi berupa undang-undang yang mengatur tentang kerukunan umat beragama yang dapat dijadikan sebagai pedoman bersama.

Tulisan ini bermaksud menguraikan lebih lanjut tentang tri kerukunan umat beragama di Indonesia, peran pemerintah dalam kerukunan beragama, dan urgensi regulasi kerukunan umat beragama di Indonesia.



Peran Pemerintah Dalam Kerukunan Beragama
Kerukunan umat beragama mutlak sangat diperlukan, agar warga masyarakat dapat menjalani kehidupan beragama dan bermasyarakat di Indonesia ini dengan damai dan jauh dari kecurigaan kepada kelompok-kelompok lain. Kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang dengan penuh kedamaian ini menjadi kunci untuk ikut serta dalam melaksanakan program kegiatan sosial kemanusiaan yang dilakukan dengan kerja sama antar agama.

Program kegiatan tersebut, jelas tidak dapat dilaksanakan dengan optimal, jika masalah kerukunan umat beragama belum terselesaikan dengan baik. Meskipun setiap agama telah mengajarkan tentang pentingnya kedamaian dan keharmonisan, realitas menunjukkan pluralisme agama bisa memicu pemeluknya saling berbenturan dan bahkan terjadi konflik. Konflik jenis ini mempunyai dampak yang amat mendalam dan cenderung meluas. Bahkan implikasinya bisa sangat besar sehingga berisiko sosial, politik maupun ekonomi yang besar pula.

Pengertian konflik agama tidak saja terjadi antar agama yang berbeda atau yang dikenal dengan istilah konflik antar umat agama tetapi konflik juga sering terjadi antara umat dalam satu agama atau konflik intern umat agama. Munculnya berbagai konflik terkait dengan persoalan keagamaan disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah: Pertama, pelecehan atau penodaan agama melalui penggunaan simbol-simbol agama, maupun istilah-istilah keagamaan dari suatu agama oleh pihak lain secara tidak bertanggung jawab. Kedua, fanatisme agama yang sempit.

Fanatisme yang dimaksud adalah suatu sikap yang mau menang sendiri serta mengabaikan kehadiran umat beragama lainnya yang memiliki cara ritual ibadah dan paham agama yang berbeda. Dan yang ketiga adalah adanya diskomunikasi dan miskomunikasi antar umat beragama. Konflik dapat terjadi karena adanya miskomunikasi (salah paham) dan dikomunikasi (pembodohan yang disengaja).

Bangsa Indonesia beratus-ratus tahun dijajah Belanda dan juga Jepang, berhasil merdeka berkat kerja sama erat dan saling bahu-membahu para pejuang dan para pendiri bangsa yang berbeda agama. Penghapusan satu kalimat di Piagam Jakarta dan kata-kata “Kewajiban menerapkan syariat Islam bagi para pemeluknya” merupakan bentuk kompromi politik untuk menjamin agar tidak ada superioritas antarsatu agama di atas agama lain dan demi terjaganya kerukunan umat beragama di Indonesia. Pancasila dan kalimat Bhinneka Tunggal Ika memberikan pedoman tentang pentingnya kerukunan umat beragama untuk bangsa ini pada masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.

Dialog intern umat beragama juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari kerukunan kehidupan umat beragama, yang pada dasarnya merupakan upaya mempertemukan hati dan pikiran di kalangan sesama penganut agama, baik sesama umat Islam maupun dengan umat beragama lainnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Secara kasatmata pemimpin agama berperan penting merancang dan melaksanakan dialog intern umat beragama, antar umat beragama, dan antara umat beragama dan pemerintah. Baik dari kalangan pemuka agama Islam maupun agama lain. Oleh karena itu pelibatan mereka dalam penyusunan regulasi kerukunan umat beragama dan juga penegakan hukum sangat penting. Penyusunan regulasi kerukunan umat beragama oleh Pemerintah dengan tidak melibatkan para pemuka tokoh agama akan melahirkan regulasi yang hampa dan tidak bermakna. Regulasi yang dilahirkan akan bekerja bagaikan robot mekanik yang tidak mempunyai jiwa kemanusiaan. Penegakan hukum yang dilakukan juga dirancang dengan pendekatan kemanusiaan.
Pemerintah melalui Kementerian Agama dan juga Kementerian Dalam Negeri menduduki posisi yang penting dan sangat menentukan dalam sosialisasi atau diseminasi regulasi kerukunan umat beragama ini. Kementerian ini dengan mengikutsertakan stakeholders harus terus membuka mata dan memperhatikan masalah-masalah kehidupan umat beragama, baik yang berskala kecil maupun besar.
Kebijakan pemerintah yang mengatur pembinaan kerukunan hidup umat beragama sudah banyak, misalnya mengenai kebijaksanaan penyiaran agama, pendirian dan penggunaan rumah ibadah, upacara hari besar keagamaan, hubungan antar agama dalam bidang pendidikan, perkawinan, penguburan jenazah, dan wadah musyawarah antarumat beragama.

Menteri Agama Mukti Ali pernah memperkenalkan pentingnya dialog antar agama dan ilmu perbandingan agama yang diajarkan sebagai mata kuliah di berbagai perguruan tinggi. Kedua hal itu penting, sebagai bentuk penyiapan kader-kader dan sumber daya manusia yang siap menghadapi tantangan konflik antara agama dan pemikiran yang terbuka, berwawasan luas, serta mendahulukan solusi kebersamaan demi masa depan Indonesia. Upaya ini juga dilanjutkan Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara yang menyosialisasikan pentingnya trilogi kerukunan umat beragama.

Komunikasi antar umat beragama yang sinergis harus didorong dan diberikan motivasi oleh pemerintah. Pemetrintah harus mengupayakan penyediaan fasilitas untuk mendukung itu. kerukunan umat beragama itu tidak terus bersifat top-down, elitis, dan berhenti pada dialog formal dan seremonial saja. Akan tetapi, para pemuka agama harus juga berinisiatif agar kesadaran ini terus tersebar dalam level akar rumput dan menjadi bagian dari pentingnya menjaga keharmonisan dan persatuan bangsa.

Pemberdayaan kelembagaan Islam untuk meningkatkan kualitas kerukunan kehidupan umat beragama perlu diprogramkan terencana dan berkelanjutan, yang diawali pendataan potensi konflik keagamaan, pelatihan penyuluh agama untuk penanganan daerah berpotensi konflik, dan sosialisasi manajemen kelembagaan agama yang difokuskan kepada memperkenalkan konsep dan kedudukan kerukunan umat beragama dalam kerangka persatuan dan kesatuan bangsa untuk suksesnya pembangunan nasional. Hal ini penting karena hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pemerintah dapat terus memupuk keharmonisan hubungan antar pemeluk agama melalui kelembagaan yang dikelola oleh negara maupun kelembagaan yang dikelola oleh berbagai agama yang ada di Indonesia, baik kelembagaan yang bersifat formal maupun non formal.

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk pemerintah pada setiap provinsi, kabupaten, dan kota perlu dioptimalkan peran fungsinya dalam memupuk persaudaraan bangsa. Kegiatan FKUB jangan hanya terjebak dalam kegiatan birokrasi administrasi pemberian rekomendasi pendirian tempat ibadah. Karena dalam kenyataannya, badan ini menjelma hanya menjadi pengawas berdirinya rumah ibadah. Pemerintah dapat berperan dengan terus memacu dan juga memfasilitasi FKUB dalam melakukan dialog-dialog keagamaan. Dialog-dialog yang dilakukan oleh FKUB hendaknya tidak hanya merupakan dialog ‘mulut’ semata, tetapi juga harus diwujudkan dengan dialog karya nyata yang manfaatnya bisa dirasakan oleh komunitas masyarakat secara langsung. FKUB dapat melakukan kegiatan bakti sosial bersama-sama lintas agama dengan dukungan fasilitasi penuh dari pemerintah.

Pengalaman nyata di lapangan, penulis menemukan beberapa problematika kendala ketika FKUB Kota Semarang akan merealisasikan program dialog karya di lapangan. Problematika tersebut diantaranya 1)tingkat partisipasi stakeholders yang rendah, 2)dukungan fasilitasi pembiayaan dari pemerintah sangat minim, 3)ada kecenderungan justru kegiatan ini menjadi ‘unjuk gigi’ dari kelompok agama tertentu, sehingga terkesan mereka yang aktif bekerja, sementara penganut agama yang lain pasif.

Pemerintahan harus terus memperhatikan problem relasi antaragama. Pemerintah harus mewujudkan kerukunan yang sesungguhnya, serta mengantisipasi pelbagai macam dampak negatif dari konflik antar agama. Segala motif dan indikasi yang bisa menyulut konflik harus diantisipasi sedini dan sebaik mungkin. Pemerintah perlu juga melakukan pendataan yang serius dan komprehensif tentang peta, analisis, keberhasilan, serta evaluasi kegagalan program kerukunan umat beragama ini.

Pemerintah harus mencanangkan program dialog kultural di antara pelbagai komunitas agama. Dialog tidak dalam kerangka perjumpaan-perjumpaan yang bersifat formal, sebagaimana yang rutin selama ini, melainkan dalam kerangka menyelesaikan pelbagai persoalan bangsa dan persoalan keagaaman secara khusus Pemerintah memfasilitasi pertemuan antaragama dan mendorong terwujudnya relasi yang rukun, adil, dan setara.

Pemerintah harus memperhatikan masalah keadilan dan kesejahteraan sosial. Akar konflik dan ketegangan antar dan juga intern agama muncul di antaranya juga disebabkan oleh ketidakadilan dan kemiskinan yang terjadi di kalangan agamawan. Terjadinya ‘rebutan’ anggota jamaah merupakan fenomena yang menarik. Anggota jamaah kelompok aliran agama tertentu merupakan sumber pembiayaan atau juga mungkin sebagai sumber penghasilan bagi tokoh atau pemimpin agama tertentu. Ketika kuantitas pengikut atau jamaahnya terganggu maka secara tidak langsung juga mengganggu income material dan secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap kenyamaan dan kerukunan. Hal ini berpotensi konflik di antara tokoh agama dan juga akan menjalar ke pengikut ajaran agama.

Pemerintahan harus bekerja keras untuk meningkatkan ekonomi yang berorientasi kerakyatan serta penegakan hukum yang seadil-adilnya. Program peningkatan kesejahteraan bagi agamawan juga mutlak harus diperhatikan. Sebagai manusia, agamawan juga membutuhkan fasilitas untuk mendukung kegiatan misi agamanya. Tempat ibadah dan sarana peribadatan yang representatif, fasilitas kegiatan sosial keagamaan yang memadai, keadaan ekonomi agamawan yang mapan dan dukungan fasilitasi pemerintah terhadap berbagai kegiatan keagamaan akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kerukunan hidup umat beragama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar