indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang cukup
besar dan memiliki berbagai ragam aliran kepercayaan dan keyakinan agama.
Munculnya berbagai aliran kepercayaan dan keyakinan agama ini di satu sisi
merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa dan di sisi yang lain merupakan potensi
munculnya disharmoni bahkan konflik di kalangan penganut aliran ajaran agama.
Potensi munculnya disharmoni ini harus diantisipasi agar kehidupan masyarakat
berbangsa dan bernegara dapat berjalan dengan baik dalam mengisi pembangunan
nasional.
Pada awalnya kerukunan hidup antar maupun intern-umat
beragama secara umum relatif baik dan mencerminkan kehidupan umat beragama yang
guyub rukun. Bangsa Indonesia sering dijadikan barometer bagi bangsa-bangsa
lain di dunia tentang kemajemukan beragama yang toleran dan hidup dalam
perdamaian. Secara umum watak keberagamaan cenderung moderat, sehingga hubungan
antar pemeluk agama lebih lentur dan mencair. Kebudayaan masyarakat yang
bercorak majemuk atau Bhineka Tunggal Ika
menjadi fondasi sosial dalam kerukunan dan kedamaian.
Dalam perkembangannya, sering terjadi ketegangan hubungan
antar pemeluk agama hingga konflik fisik di berbagai wilayah Indonesia bahkan
tidak jarang berbuntut pada penghilangan nyawa. Pada masa Orde Baru sering
terjadi letupan-letupan konflik intern dan antar umat beragama. Peran negara
atau pemerintah dalam mengatur relasi kehidupan intern dan antar umat beragama
sangat dominan. Melalui kebijakan pemerintah pada waktu itu berbagai peristiwa
SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) mudah diredam, dikendalikan, dan
diselesaikan secara top-down.
Di era Reformasi sekarang ini, peran dominasi pemerintah
berkurang dan proses keterbukaan demikian kuat. Konflik-konflik terbuka yang
melibatkan umat beragama banyak muncul. Peristiwa yang paling tragis ialah
konflik yang terjadi di Poso, Ambon, Sambas, Sampit dan titik-titik konflik
lain di sejumlah daerah.
Peristiwa yang terjadi tersebut tidaklah murni konflik
keagamaan, tetapi tidak menutup kemungkinan juga ada beberapa faktor penyebab
lain. Meskipun demikian, berbagai konflik tersebut harus berhenti di sini dan
jangan sampai terulang kembali dan merembet ke daerah-daerah lain. Jika sampai
berulang dan menjalar maka kerugian dan kehancuran yang akan menimpa bangsa
ini. Kehidupan umat beragama di Indonesia dan nilai luhur agama tentu
tercoreng. Karena itu, seluruh pihak termasuk pemerintah, kekuatan-kekuatan
politik, dan lebih khusus semua kelompok atau golongan agama harus mengambil
hikmah sekaligus langkah-langkah tegas.
Disinilah pentingnya kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah
yang komprehensif untuk mendorong semakin kuatnya budaya kerukunan dan
perdamaian, sekaligus meminimalisir berbagai faktor pemicu konflik. Pemerintah
memang tidak bisa terlalu jauh masuk dan mengendalikan totalitas terhadap hubungan
antar atau intern umat beragama, tetapi juga tidak boleh melakukan pembiaran
dan acuh tak acuh. Seluruh golongan masyarakat, lebih khusus umat serta tokoh
beragama, harus terus mengambil prakarsa agar terjadi relasi umat beragama yang
semakin dewasa, rukun, dan damai. Kalaupun sesekali terjadi konflik, tidak
berskala besar dan meluas, serta mampu diredam dan dipecahkan dengan resolusi
konflik yang cepat dan elegan.
Agar tindakan yang diambil oleh pemerintah dan stakeholders
dalam penguatan kerukunan umat beragama di Indonesia dapat berjalan sesuai
dengan tata nilai norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia maka perlu adanya
regulasi berupa undang-undang yang mengatur tentang kerukunan umat beragama
yang dapat dijadikan sebagai pedoman bersama.
Tulisan ini bermaksud menguraikan lebih lanjut tentang tri
kerukunan umat beragama di Indonesia, peran pemerintah dalam kerukunan
beragama, dan urgensi regulasi kerukunan umat beragama di Indonesia.
Peran Pemerintah Dalam
Kerukunan Beragama
Kerukunan umat beragama mutlak sangat diperlukan, agar warga
masyarakat dapat menjalani kehidupan beragama dan bermasyarakat di Indonesia
ini dengan damai dan jauh dari kecurigaan kepada kelompok-kelompok lain.
Kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang dengan penuh kedamaian ini menjadi
kunci untuk ikut serta dalam melaksanakan program kegiatan sosial kemanusiaan yang
dilakukan dengan kerja sama antar agama.
Program kegiatan tersebut, jelas tidak dapat dilaksanakan
dengan optimal, jika masalah kerukunan umat beragama belum terselesaikan dengan
baik. Meskipun setiap agama telah mengajarkan tentang pentingnya kedamaian dan
keharmonisan, realitas menunjukkan pluralisme agama bisa memicu pemeluknya
saling berbenturan dan bahkan terjadi konflik. Konflik jenis ini mempunyai
dampak yang amat mendalam dan cenderung meluas. Bahkan implikasinya bisa sangat
besar sehingga berisiko sosial, politik maupun ekonomi yang besar pula.
Pengertian konflik agama tidak saja terjadi antar agama yang
berbeda atau yang dikenal dengan istilah konflik antar umat agama tetapi
konflik juga sering terjadi antara umat dalam satu agama atau konflik intern
umat agama. Munculnya berbagai konflik terkait dengan persoalan keagamaan
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah: Pertama, pelecehan atau
penodaan agama melalui penggunaan simbol-simbol agama, maupun istilah-istilah
keagamaan dari suatu agama oleh pihak lain secara tidak bertanggung jawab.
Kedua, fanatisme agama yang sempit.
Fanatisme yang dimaksud adalah suatu sikap yang mau menang
sendiri serta mengabaikan kehadiran umat beragama lainnya yang memiliki cara
ritual ibadah dan paham agama yang berbeda. Dan yang ketiga adalah adanya
diskomunikasi dan miskomunikasi antar umat beragama. Konflik dapat terjadi
karena adanya miskomunikasi (salah paham) dan dikomunikasi (pembodohan yang
disengaja).
Bangsa Indonesia beratus-ratus tahun dijajah Belanda dan
juga Jepang, berhasil merdeka berkat kerja sama erat dan saling bahu-membahu
para pejuang dan para pendiri bangsa yang berbeda agama. Penghapusan satu
kalimat di Piagam Jakarta dan kata-kata “Kewajiban menerapkan syariat Islam
bagi para pemeluknya” merupakan bentuk kompromi politik untuk menjamin agar
tidak ada superioritas antarsatu agama di atas agama lain dan demi terjaganya
kerukunan umat beragama di Indonesia. Pancasila dan kalimat Bhinneka Tunggal
Ika memberikan pedoman tentang pentingnya kerukunan umat beragama untuk bangsa
ini pada masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Dialog intern umat beragama juga merupakan bagian tidak
terpisahkan dari kerukunan kehidupan umat beragama, yang pada dasarnya
merupakan upaya mempertemukan hati dan pikiran di kalangan sesama penganut
agama, baik sesama umat Islam maupun dengan umat beragama lainnya dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara kasatmata pemimpin agama berperan penting merancang
dan melaksanakan dialog intern umat beragama, antar umat beragama, dan antara
umat beragama dan pemerintah. Baik dari kalangan pemuka agama Islam maupun
agama lain. Oleh karena itu pelibatan mereka dalam penyusunan regulasi
kerukunan umat beragama dan juga penegakan hukum sangat penting. Penyusunan regulasi
kerukunan umat beragama oleh Pemerintah dengan tidak melibatkan para pemuka
tokoh agama akan melahirkan regulasi yang hampa dan tidak bermakna. Regulasi
yang dilahirkan akan bekerja bagaikan robot mekanik yang tidak mempunyai jiwa
kemanusiaan. Penegakan hukum yang dilakukan juga dirancang dengan pendekatan
kemanusiaan.
Pemerintah melalui Kementerian Agama dan juga Kementerian
Dalam Negeri menduduki posisi yang penting dan sangat menentukan dalam
sosialisasi atau diseminasi regulasi kerukunan umat beragama ini. Kementerian
ini dengan mengikutsertakan stakeholders harus terus membuka mata dan
memperhatikan masalah-masalah kehidupan umat beragama, baik yang berskala kecil
maupun besar.
Kebijakan pemerintah yang mengatur pembinaan kerukunan hidup
umat beragama sudah banyak, misalnya mengenai kebijaksanaan penyiaran agama,
pendirian dan penggunaan rumah ibadah, upacara hari besar keagamaan, hubungan
antar agama dalam bidang pendidikan, perkawinan, penguburan jenazah, dan wadah
musyawarah antarumat beragama.
Menteri Agama Mukti Ali pernah memperkenalkan pentingnya
dialog antar agama dan ilmu perbandingan agama yang diajarkan sebagai mata
kuliah di berbagai perguruan tinggi. Kedua hal itu penting, sebagai bentuk
penyiapan kader-kader dan sumber daya manusia yang siap menghadapi tantangan
konflik antara agama dan pemikiran yang terbuka, berwawasan luas, serta
mendahulukan solusi kebersamaan demi masa depan Indonesia. Upaya ini juga
dilanjutkan Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara yang menyosialisasikan pentingnya
trilogi kerukunan umat beragama.
Komunikasi antar umat beragama yang sinergis harus didorong
dan diberikan motivasi oleh pemerintah. Pemetrintah harus mengupayakan
penyediaan fasilitas untuk mendukung itu. kerukunan umat beragama itu tidak
terus bersifat top-down, elitis, dan berhenti pada dialog formal dan seremonial
saja. Akan tetapi, para pemuka agama harus juga berinisiatif agar kesadaran ini
terus tersebar dalam level akar rumput dan menjadi bagian dari pentingnya
menjaga keharmonisan dan persatuan bangsa.
Pemberdayaan kelembagaan Islam untuk meningkatkan kualitas
kerukunan kehidupan umat beragama perlu diprogramkan terencana dan
berkelanjutan, yang diawali pendataan potensi konflik keagamaan, pelatihan
penyuluh agama untuk penanganan daerah berpotensi konflik, dan sosialisasi
manajemen kelembagaan agama yang difokuskan kepada memperkenalkan konsep dan
kedudukan kerukunan umat beragama dalam kerangka persatuan dan kesatuan bangsa
untuk suksesnya pembangunan nasional. Hal ini penting karena hakekat
pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pemerintah
dapat terus memupuk keharmonisan hubungan antar pemeluk agama melalui
kelembagaan yang dikelola oleh negara maupun kelembagaan yang dikelola oleh
berbagai agama yang ada di Indonesia, baik kelembagaan yang bersifat formal
maupun non formal.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk
pemerintah pada setiap provinsi, kabupaten, dan kota perlu dioptimalkan peran
fungsinya dalam memupuk persaudaraan bangsa. Kegiatan FKUB jangan hanya
terjebak dalam kegiatan birokrasi administrasi pemberian rekomendasi pendirian
tempat ibadah. Karena dalam kenyataannya, badan ini menjelma hanya menjadi
pengawas berdirinya rumah ibadah. Pemerintah dapat berperan dengan terus memacu
dan juga memfasilitasi FKUB dalam melakukan dialog-dialog keagamaan.
Dialog-dialog yang dilakukan oleh FKUB hendaknya tidak hanya merupakan dialog
‘mulut’ semata, tetapi juga harus diwujudkan dengan dialog karya nyata yang
manfaatnya bisa dirasakan oleh komunitas masyarakat secara langsung. FKUB dapat
melakukan kegiatan bakti sosial bersama-sama lintas agama dengan dukungan
fasilitasi penuh dari pemerintah.
Pengalaman nyata di lapangan, penulis menemukan beberapa
problematika kendala ketika FKUB Kota Semarang akan merealisasikan program
dialog karya di lapangan. Problematika tersebut diantaranya 1)tingkat
partisipasi stakeholders yang rendah, 2)dukungan fasilitasi pembiayaan dari
pemerintah sangat minim, 3)ada kecenderungan justru kegiatan ini menjadi ‘unjuk
gigi’ dari kelompok agama tertentu, sehingga terkesan mereka yang aktif
bekerja, sementara penganut agama yang lain pasif.
Pemerintahan harus terus memperhatikan problem relasi
antaragama. Pemerintah harus mewujudkan kerukunan yang sesungguhnya, serta
mengantisipasi pelbagai macam dampak negatif dari konflik antar agama. Segala
motif dan indikasi yang bisa menyulut konflik harus diantisipasi sedini dan
sebaik mungkin. Pemerintah perlu juga melakukan pendataan yang serius dan
komprehensif tentang peta, analisis, keberhasilan, serta evaluasi kegagalan
program kerukunan umat beragama ini.
Pemerintah harus mencanangkan program dialog kultural di
antara pelbagai komunitas agama. Dialog tidak dalam kerangka
perjumpaan-perjumpaan yang bersifat formal, sebagaimana yang rutin selama ini,
melainkan dalam kerangka menyelesaikan pelbagai persoalan bangsa dan persoalan
keagaaman secara khusus Pemerintah memfasilitasi pertemuan antaragama dan
mendorong terwujudnya relasi yang rukun, adil, dan setara.
Pemerintah harus memperhatikan masalah keadilan dan
kesejahteraan sosial. Akar konflik dan ketegangan antar dan juga intern agama
muncul di antaranya juga disebabkan oleh ketidakadilan dan kemiskinan yang
terjadi di kalangan agamawan. Terjadinya ‘rebutan’ anggota jamaah merupakan
fenomena yang menarik. Anggota jamaah kelompok aliran agama tertentu merupakan
sumber pembiayaan atau juga mungkin sebagai sumber penghasilan bagi tokoh atau
pemimpin agama tertentu. Ketika kuantitas pengikut atau jamaahnya terganggu
maka secara tidak langsung juga mengganggu income material dan secara tidak
langsung juga berpengaruh terhadap kenyamaan dan kerukunan. Hal ini berpotensi
konflik di antara tokoh agama dan juga akan menjalar ke pengikut ajaran agama.
Pemerintahan harus bekerja keras untuk meningkatkan ekonomi
yang berorientasi kerakyatan serta penegakan hukum yang seadil-adilnya. Program
peningkatan kesejahteraan bagi agamawan juga mutlak harus diperhatikan. Sebagai
manusia, agamawan juga membutuhkan fasilitas untuk mendukung kegiatan misi
agamanya. Tempat ibadah dan sarana peribadatan yang representatif, fasilitas
kegiatan sosial keagamaan yang memadai, keadaan ekonomi agamawan yang mapan dan
dukungan fasilitasi pemerintah terhadap berbagai kegiatan keagamaan akan sangat
berpengaruh terhadap peningkatan kerukunan hidup umat beragama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar